Kamis, 25 Desember 2008

tatoo

Tato: Beda Budaya, Beda Makna

Pontiman Sutalip

Pontiman Sutalip  Biduan Rihanna direncanakan akan tampil di Istora Senayan Jakarta pada 14 November 2008 mendatang. Semenjak kemunculannya beberapa tahun yang lalu, penyanyi yang tato di rusuk Rihannasudah menelurkan tiga buah album ini kerap meraup pamor berkat kontroversi tubuhnya. Di samping Rihanna mengakui perihal asuransi kaki senilai $US 1 juta, ia juga dikabarkan memiliki sepuluh tato yang terukir di tubuhnya. Salah satu tato yang paling kontroversial adalah kalimat “Freedom in Christ” yang dituliskan dengan aksara Arab.

Tato yang disebut pula body painting atau rajah diaplikasikan oleh orang dahulu dengan teknik manual, yakni dengan bahan-bahan alami. Orang Eskimo, misalnya, memanfaatkan jarum dari tulang binatang. Bahkan, kuil-kuil Shaolin di Cina memakai gentong tembaga yang panas untuk mencetak gambar naga pada kulit tubuh. Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini para tato artis (sebutan untuk seniman penggambar tato) sudah menggunakan jarum yang terkadang dibantu dengan teknik mesin saat pengukiran.

Setiap budaya memang memiliki cara memaknakan tato yang berbeda. Apabila di Cina, hanya murid-murid Shaolin yang dianggap memenuhi syarat mendapatkan simbol naga, lain pula halnya dengan Suku Maori di New Zealand. Di sana, mereka membuat tato yang berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan bokong. Menurut mereka, ini adalah tanda bagi keturunan yang baik.

Pada sebagian budaya, tato menunjukkan usia dan kelas sosial. Di masyarakat Kepulauan Solomon, sebelah Timur Papua Nugini, tato ditorehkan di wajah para perempuan. Simbol-simbol pada wajah menandakan tahap-tahap dalam kehidupan mereka. Pada sistem budaya yang berlainan, tato mempunyai makna dan fungsi yang berbeda-beda. Hampir sama seperti di atas, orang-orang Suku Nuer di Sudan memakai tato untuk menandai masa inisiasi pada anak laki-laki. Orang-orang Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukkan status sosial tertentu.

Makna di Indonesia
Di Indonesia, ada anggapan buruk mengenai tato dari kaum konservatif. Tato dianggap sebagai sebuah pemberontakan dari norma yang dianggap ‘baik’ dan ‘benar’. Bagi generasi yang tidak terbiasa berdiskusi, sebuah pemberontakan tentu saja sebuah anggapan buruk. Awalnya, mereka yang memiliki tato kerap dipersinggungkan dengan golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketenteraman masyarakat. Sehingga, orang-orang yang memakai tato dianggap identik dengan ‘penjahat’ dan ‘orang nakal’.

Beberapa produk publisitas pun kerap memojokkan tato sebagai hanya milik kaum yang jahat. Sehubungan dengan pembunuhan misterius terhadap ribuan orang gali (penjahat kambuhan) di berbagai kota di Indonesia pada tahun 80-an,dalam Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak Tahun 1966 karya Brita L. suku MaoriMiklouho-Maklai (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:1997) menyebutkan bahwa para penjahat kambuhan itu kebanyakan diidentifikasi melalui tato, untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang di sembarang tempat seperti sampah. Tidak semua orang bertato itu penjahat memang.

Saat tato—atau dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari tubuh, karena sudah bersatu—dipergunakan kelompok kepentingan untuk tujuan tertentu, artinya telah terjadi politisasi tubuh. Tubuh dijadikan alat berpolitik untuk kepentingan negara. Dalam kasus penembak misterius di Indonesia, tubuh yang bertato dipakai sebagai alat kendali, suatu alasan untuk menjaga stabilitas negara. Untuk tingkat dunia, bisa disebut beberapa contoh kasus politik tubuh besar sepanjang sejarah peradaban manusia. Terlepas dari adanya tato atau tidak, orang-orang kulit putih menerapkan sistem politik apartheid di Afrika Selatan. Apartheid (arti dari bahasa Afrika: apart ‘memisah’, heid ‘sistem’ atau ‘hukum’) adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990. Sistem ini memisahkan bangsa berkulit hitam, dan bangsa berkulit putih yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1913. Para bangsa kulit hitam tidak boleh memiliki tanah semeter pun di luar batas "Homeland" mereka, yang kotor dan tidak terawat

Meski seni tato terus berkembang, apabila diselaraskan dengan paham-paham keagamaan, kebanyakan agama melarang umatnya memiliki tato. Sebelum tato dianggap sebagai sesuatu yang modis, trendi dan fashionable seperti sekarang ini, tato memang dekat dengan budaya pemberontakan.

Anggapan negatif masyarakat tentang tato dan larangan memakai rajah atau tato bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan imej tato sebagai sesuatu yang: dilarang, haram, dan tidak boleh. Maka memakai tato sama dengan memberontak terhadap tatanan nilai sosial yang ada, sama dengan membebaskan diri terhadap segala tabu dan norma-norma masyarakat yang membelenggu. Orang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat memakai tato sebagai simbol pemberontakan dan eksistensi diri. Anak-anak yang disingkirkan oleh keluarga memakai tato sebagai simbol pembebasan...

Setiap zaman melahirkan konstruksi tubuhnya sendiri-sendiri. Dulu tato dianggap jelek, sekarang tato dianggap sebagai sesuatu yang modis dan trendi. Kalau era ini berakhir, entah tato akan dianggap sebagai apa. Mungkin status kelas sosial, mungkin sekadar perhiasan, atau yang lain.